Sumatra merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia.
Kopi-kopi sumatra punya jejak rasa kayu, bertekstur tebal, berkeasaman rendah,
dan bercitarasa yang merentang dari ketanah-tanahan, eru atau cemara, dan
rempah hingga ke buah-buahan terfermentasi, cokelat, herbal, kulit tersamak,
dan tembakau.
Indonesia kebanyakan memproduksi
robusta bercitarasa repat dan sejumlah kecil arabika. Perkebunan kopi pertama
di Sumatra ada pada 1888 dan pulau ini kini menjadi produsen terbesar kopi
robusta di Indonesia, menyuplai sekitar 75 persen total produksi robusta
seluruh negeri.
Dari antara varietas arabika,
Typica masih merupakan yang paling umum. Beberapa varietas Bourbon, begitu pula
hibrida Lini-S, Caturra, Catimor, Hibrido de Timor (TimTim), dan
turunan-turunan Etiopia yang disebut Rambung serta Abyssinia, juga
dibudidayakan di Sumatra. Produsen terkadang membudidayakan berbagai varietas
dalam sebidang tanah yang sama sehingga mengakibatkan banyak proses hibrida
alamiah. Air sering langka, jadi petani gurem kebanyakan menggunakan
pasca-panen tradisional giling basah, yang memberi warna hijau kebiruan pada
beras kopi. Sayangnya, metode ini bisa menyebabkan kerusakan biji dan kecemaran
hasil.
Kualitas kopi Indonesia tidak
konsisten dan tantangan infrastruktur lokal menyulitkan pencarian biji premium
terpilih.
Beberapa
Varietas
Jantung Purna-basah: Minat terhadap
varietas kopi-kopi Sumatra meningkat akhir-akhir ini. Varietas [TimTim/Wahana?]
Jantung acap kali menampilkan yang umum dipersepsikan sebagai tipikal citarasa
Indonesia.
Rasuna Purna-basah: Para pengekspor
kini bersedia memasarkan berbagai varietas dengan profil citarasa khas
masing-masing. Rasuna kadang memperlihatkan jejak rasa buah-buahan dan beraroma
sedap.
Biji Panjang Purna-basah: Varietas ini
mengelukan kembali Etiopia. Jejak rasa buah-buahan biji kopi yang memanjang [longberry] ini kuat sekalipun
dibudidayakan di Indonesia.
Pohon-pohon kopi robusta sumatra terutama tumbuh di sisi tengah dan selatan pulau;
ilustrasi dari Coffee Story: Segitiga Emas Robusta (Kompastv, 2011).
|
Aceh
Di ujung utara Pulau Sumatra, di sekitar Dataran Tinggi
Gayo, Takengon dan Danau Laut Tawar jadi rumah bagi kebun-kebun kopi pada
ketinggian 1.100–1.300 mdpl.
Lintong atau Sekitar
Danau Toba
Kebun-kebun kopi sekitar Danau Toba terhampar pada
ketinggian 1.200–1.500 mdpl. Produksi merentang dari Lintong Nihuta sampai ke
Sidikalang. Wilayah ini membudidayakan sebagian arabika Indonesia yang paling
bernilai.
Sisi Selatan Barat
Bengkulu dan Mangkuraja merupakan wilayah baru yang
memproduksi kopi. Pasca-panen giling basah dan proses kering jadi pilihan,
menghasilkan robusta bercitarasa repat dan berat.
Lampung
Ujung selatan pulau merupakan penghasil robusta terbesar di
wilayah Sumatra, dengan iklim dan ketinggian yang sesuai pada ketinggian 400–700
meter di atas permukaan laut.
Catatan Penerjemah/Penyunting
Bandingkan artikel Moldvaer ini dengan yang ditulis James Hoffmann: Indonesia dalam Atlas Kopi Dunia. Tampaknya Moldvaer punya data yang lebih baik sekalipun satu dua hal perlu diberi catatan: “Perkebunan kopi pertama di Sumatra ada pada 1888—” dan “Bengkulu dan Mangkuraja merupakan wilayah baru yang memproduksi kopi.” Sama dengan catatan untuk Hoffmann, kopi di sekitar Mangkuraja atau di Bengkulu sudah mulai ditanam sejak 1802/1803 berdasar kesaksian Campbell (Marsden, 1811: 80, 158). Lalu dalam Max Havelaar yang terkenal itu, yang sudah terbit pada 1860, kita bisa membaca Multatuli bercerita tentang kuli-kuli di Sumatra yang meminum kopi daun [Multatuli, 1968: 79–80]—yang pasti terlalu mahal kalau didatangkan dari Jawa dan bukan dari yang tumbuh di wilayah setempat.
Bandingkan artikel Moldvaer ini dengan yang ditulis James Hoffmann: Indonesia dalam Atlas Kopi Dunia. Tampaknya Moldvaer punya data yang lebih baik sekalipun satu dua hal perlu diberi catatan: “Perkebunan kopi pertama di Sumatra ada pada 1888—” dan “Bengkulu dan Mangkuraja merupakan wilayah baru yang memproduksi kopi.” Sama dengan catatan untuk Hoffmann, kopi di sekitar Mangkuraja atau di Bengkulu sudah mulai ditanam sejak 1802/1803 berdasar kesaksian Campbell (Marsden, 1811: 80, 158). Lalu dalam Max Havelaar yang terkenal itu, yang sudah terbit pada 1860, kita bisa membaca Multatuli bercerita tentang kuli-kuli di Sumatra yang meminum kopi daun [Multatuli, 1968: 79–80]—yang pasti terlalu mahal kalau didatangkan dari Jawa dan bukan dari yang tumbuh di wilayah setempat.
Diambil dari Anette Moldvaer. 2014. Coffee Obsession. London: DK Publishing;
diterjemahkan oleh Ining Isaiyas
0 komentar :
Posting Komentar