Wilayah penghasil kopi Hindia Belanda dan sekitarnya yang dimuat dalam All about Coffee karya Ukers [1922: 354] |
Upaya pertama penanaman
kopi di Kepulauan Nusantara tak membuahkan hasil. Pada 1696 Gubernur Batavia
(kini Jakarta) dikirimi hadiah sejumlah benih kopi oleh Gubernur Belanda atas
Malabar di India. Tanaman-tanaman itu hilang tersapu banjir; maka pengiriman
kedua dilakukan pada 1699. Benih yang kedua ini tumbuh subur.
Ekspor
kopi dimulai pada 1711 dan dikontrol oleh VOC—Verenigde Oost-Indische Compagnie
(Perserikatan Dagang Hindia Timur Belanda atau Kompeni). Kopi-kopi Nusantara sesampai di Amterdam dijual dengan harga
tinggi; 1 kg setara dengan rata-rata satu persen pemasukan [pemerintah?—ed.] setahun. Harga itu
perlahan-lahan turun selama Abad XVIII, tetapi tak bisa disangkal bahwa kopi
sangatlah menguntungkan bagi VOC. Akan tetapi, karena Jawa berada di bawah kekuasaan
kolonial pada masa itu, kopi sama sekali tidak menguntungkan bagi petani
penanam. Pada 1856 seorang pegawai pemerintah kolonial menulis novel berjudul Max Havelaar atau Lelang Kopi Perusahaan
Dagang Belanda, yang menggambarkan penyalahgunaan wewenang dalam sistem
kolonial. Buku ini punya dampak yang tak berkesudahan untuk masyarakat Belanda,
mengubah opini publik perihal tata cara jual-beli kopi dan sistem penjajahan
secara umum. Istilah Max Havelaar kini dipakai untuk sertifikasi etis dalam
industri kopi.
Mula-mula
Indonesia hanya menanam kopi arabika, tetapi penyakit karat daun kopi menyapu
bersih panen pada 1876. Telah dilakukan beberapa upaya untuk menanam spesies
kopi liberika sebagai pengganti arabika, akan tetapi kopi-kopi liberika itu
tetap terkena karat daun; maka produksi dialihkan ke robusta yang tahan
penyakit. Dewasa ini robusta masih mendominasi total jumlah panen.
Profil Rasa
Kopi
semi-basah cenderung berbodi tebal, berasa tanah, berkayu, dan bercitarasa rempah
dengan keasaman minimal.
Giling Basah
Salah satu aspek produksi
kopi yang unik di Indonesia dan yang jadi penyebab rasa kopi Indonesia bikin cekcok adalah proses pasca-panen tradisional giling basah. Proses hibrida ini
menggabungkan elemen proses kering dan elemen proses basah dan telah dipaparkan di halaman
37 [lihat buku]. Proses semi-basah ini secara dramatis berpengaruh terhadap
kualitas rasa seduhan. Giling basah mengurangi keasaman kopi dan tampaknya
meningkatkan bodi kopi, menciptakan secangkir kopi yang lebih halus, lebih
berisi, dan punya bodi yang lebih tebal.
Namun,
giling basah juga membawa serta keseluruhan citarasa tambahan, kadang kala
vegetal atau herbal, kadang berkayu atau kepam, terkadang bertanah. Ini tidak
berarti bahwa kopi yang diproses dengan cara ini seragam secara kualitas dan
telah melewati semacam beberapa standardisasi citarasa. Kopi yang diproses
melalui cara ini punya variasi kualitas yang amat lebar.
Citarasa
kopi proses semi-basah secara khusus memang bikin cekcok dalam
industri kopi. Apabila kopi dari Afrika atau Amerika Tengah menampilkan
citarasa yang serupa itu, tak peduli betapa baik proses pasca-panen yang telah
dilakukan, kopi itu akan dipandang cacat dan ditolak mentah-mentah oleh pembeli
potensial mana pun. Namun, banyak orang menganggap kopi seduh bercitarasa kuat
dan berbodi tebal dari buntal panen giling basah kopi Indonesia itu nikmat. Dan
oleh karena itu industri terus-menerus membelinya.
Dalam
beberapa tahun terakhir para pembeli kopi spesial berupaya untuk mendorong
produsen di seluruh negeri untuk bereksperimen lebih pada proses purna-basah [fully washed] dalam
rangka menghargai rasa khas varietas dan tanah asali daripada citarasa dominan
akibat proses pasca-panen. Kita akan lihat apakah permintaan kopi jenis ini
cukup kuat untuk mendorong produksi kopi yang lebih bersih secara luas; ataukah
industri akan menemui suatu permintaan yang terus-menerus atas panenan semi-basah dan
begitu saja mengikuti permintaan itu.
Kopi Luwak
Di Indonesia
kopi luwak merujuk pada kopi yang diproduksi dengan mengumpulkan kotoran luwak
yang telah memakan kopi ceri. Kopi yang separuh-tercerna ini dibersihkan dari
feses dan kemudian diproses dan dikeringkan. Pada dasawarsa terakhir ini kopi
tersebut dipandang sebagai suatu hal baru yang mengagumkan dengan klaim
citarasa istimewa yang sumir dan kopi ini dijual dengan harga yang luar biasa
tinggi. Hal ini menyebabkan dua persoalan.
Yang pertama,
pemalsuan kopi ini terjadi di mana-mana. Beberapa kali lipat telah terjual daripada [kopi luwak sungguhan] yang benar-benar diproduksi dan sering kali robusta kualitas rendah dicap
sebagai kopi luwak dengan harga tinggi.
Yang kedua, bermunculan
para pelaku bejat yang menangkap dan mengkandangkan luwak, memberi makan paksa
luwak-luwak itu dengan kopi ceri, dan membiarkan hewan-hewan itu dalam kondisi
yang mengenaskan.
Saya kira kopi luwak menjijikkan dalam segi mana pun. Kalau
Anda mengharapkan kopi nikmat, kopi luwak jelas hanya menghamburkan uang.
Seperempat dana yang Anda alokasikan untuk membeli sekarung bisa Anda alihkan
untuk memborong sejumlah yang sama kopi paling enak dari produsen terbaik dunia. Saya hanya bisa menilai bahwa praktik ini keji dan tidak etis dan saya yakin
tiap orang hendaknya menghindari semua kopi yang diproses oleh binatang dan
tidak memberi hormat atas perilaku tercela ini dengan uang mereka.
Keterunutan
Masih mungkin untuk
menemukan kopi dari kebun perseorangan di Nusantara, tetapi itu sangat jarang.
Namun, kopi-kopi yang dijaga agar bisa terunut dan melalui proses purna-basah (dibanding proses semi-basah) jelas patut dicoba.
Kebanyakan
kopi diproduksi oleh petani kecil dengan kebun hanya berkisar 1–2 hektare
sehingga biasanya kopi hanya bisa dirunut sampai ke suatu pos pengupasan atau
hanya sampai ke wilayah. Variasi kualitas kopi masing-masing wilayah amatlah
lebar dan variasi kualitas ini tak mudah dikira-kira seperti judi.
Populasi: 237.424.000 jiwa
Jumlah panen 2013 dalam hitungan karung 60 kg: 111.667.000
Dari asal mula di Jawa,
kopi perlahan-lahan menyebar ke pulau-pulau lain di sekitar wilayah itu,
pertama-tama ke Sulawesi pada 1750. Kopi belum sampai ke Sumatra Utara sebelum
1888, pertama-tama ditanam di sekitar Danau Toba dan akhirnya sampai ke wilayah
Danau Laut Tawar di Gayo pada 1924.
Sumatra
Pulau Sumatra punya tiga
wilayah utama penanam kopi: Provinsi Aceh di sisi utara, wilayah Danau Toba
sedikit ke selatan, dan yang lebih belakangan, kopi telah diproduksi di sisi
selatan pulau di sekitar Mangkuraja. Masih mungkin untuk merunut kopi ke
wilayah yang lebih kecil di pulau ini: Takengon atau Bener Meriah di wilayah
Aceh; dan Lintong, Sidikalang, Dolok Sanggul atau Seribu Dolok di sekitar Danau
Toba. Keterunutan sampai tingkat ini relatif belakangan.
Sebelumnya
lazim orang menemui kopi dijual dengan nama ‘Sumatra Mandailing’. Tak ada
tempat yang bernama Mandailing, nama ini merujuk pada kelompok etnik dari pulau
Sumatra. Acap kali kopi Mandailing diberi taraf mutu, 1 atau 2. Taraf mutu ini
tampaknya lebih didasarkan pada kualitas seduhan daripada kualitas beras kopi
sebagaimana umumnya, tetapi saya tak yakin untuk merekomendasikan semua kelas 1
lantaran pemberian peringkat mutu itu tampaknya sesekali serampangan.
Tidak
umum untuk memisahkan varietas yang berbeda ke dalam kelompok karung yang
berbeda, jadi kebanyakan kopi sumatra kemungkinan merupakan campuran berbagai
varietas yang tak ketahuan. Kopi-kopi dari Sumatra dikapalkan dari pelabuhan di
Medan, tetapi iklim panas dan lembap bisa berdampak buruk pada kopi apabila
kopi-kopi itu dibiarkan begitu saja di atas dermaga terlalu lama sebelum
dikapalkan.
Elevasi:
Aceh 1.100–1.300
mdpl
Danau Toba 1.100–1.600 mdpl
Mangkuraja 1.100–1.300 mdpl
Masa Panen:
September–Desember
Varietas:
Typica (termasuk Bergandal, Sidikalang, dan Jember)
TimTim
Ateng
Penyebutan Varietas
Penyebutan varietas di Sumatra bisa sedikit mengelabuhi.
Kebanyakan persediaan benih arabika yang mula-mula dibawa ke pulau ini diturunkan
dari golongan Typica yang diambil dari Yaman. Di Sumatra varietas ini sering
disebut Typica Jember, akan tetapi perlu diketahui bahwa Jember juga merujuk
pada varietas yang sama sekali berbeda (yang kurang unggul) yang ditemukan di
Sulawesi.
Jamaklah menemukan varietas yang dalam
beberapa arti dikawinsilangkan dengan robusta. Hibrida yang paling
terkenal disebut Hybrido de Timor, induk varietas yang lebih umum Catimor. Di
Sumatra ini acap disebut TimTim.
Jawa
Jauh lebih lazim
menemukan perkebunan besar di Jawa daripada di tempat-tempat lain di Indonesia
lantaran sejarah penjajahan dan praktik orang-orang Belanda. Empat perkebunan
yang paling besar—pada masa lalu merupakan milik pemerintah—mencakup 4.000
hektare dari luas keseluruhan kebun. Pulau Jawa telah menikmati reputasi sebagai bintang
dalam perkopian untuk waktu yang lama, kendati saya yakin pasti itu tidak
terlalu lama setelah kopi lain datang dan menggantikan yang sesungguhnya ada
dalam campuran moka-jawa produk para juru sangrai yang mumpuni. Kopi-kopi jawa
menguasai pasar kopi premium untuk waktu yang panjang, akan tetapi harga kopi
ini turun pada akhir abad XX.
Sebagian
besar kopi ditanam di sisi timur Jawa, di sekitar gunung berapi Ijen, tetapi
ada juga produsen kopi di sisi barat pulau.
Elevasi:
900–1.800 mdpl
Masa
Panen:
Juli–September
Varietas:
Typica
Ateng
Jawa Cokelat Tua atau Kopi Tua Gubernemen
Beberapa
perkebunan di Jawa memilih untuk menuakan kopi mereka sebelum diekspor, sampai
sekira lima tahun. Kopi beras mentah itu berubah dari hijau-kebiruan yang
diasosiasikan dengan proses semi-basah menjadi semu cokelat lumpur. Seketika
disangrai tak ada sedikit pun keasaman pada kopi itu dan tersisa citarasa yang
tajam menusuk serta berkayu yang dinikmati sebagian orang. Namun, apabila Anda
menyukai kopi yang manis, jernih, dan cemerlang, Anda pasti tak suka sama
sekali kopi ini.
Sulawesi
Sebagian besar kopi
sulawesi diproduksi oleh petani kecil, tetapi tujuh perkebunan besar berandil
sampai sekitar lima persen dari total produksi. Kebanyakan kopi arabika yang
ada di pulau ini ditanam di tempat tinggi di sekitar Tana Toraja. Ke selatan
adalah Kalosi, yang juga menjadi semacam merk kopi dari wilayah ini. Masih ada
dua wilayah penanam kopi lagi yang kurang terkenal: Mamasa ke sisi barat dan
Gowa ke sisi timur Kalosi. Sebagian kopi yang paling menarik dari pulau ini
diproses purna-basah dan bisa jadi sangat luar biasa enak. Saya
merekomendasikan Anda untuk memburu kopi itu bila punya kesempatan. Kendati
begitu kopi yang diproses semi-basah masih umum dan pulau ini juga memproduksi robusta
dalam jumlah lumayan. Produksi kopi bisa tampak tak terorganisasi di pulau ini,
sebab banyak petani kecil yang menanam kopi hanya untuk tambahan pendapatan sedangkan
mereka memusatkan upaya mereka untuk panenan lain.
Elevasi:
Tana Toraja 1.100–1.800
mdpl
Mamasa
1.300–1.700 mdpl
Gowa
rata-rata 800 mdpl
Masa
Panen:
Mei–November
Varietas:
S795
Typica
Ateng
Flores
Flores merupakan pulau
kecil sekitar 320 km di sebelah timur Bali dan di antara pulau-pulau lain di
Indonesia Flores adalah pendatang baru baik dalam soal memproduksi kopi maupun
dalam mengembangkan reputasi yang kuat dalam hal [kualitas] kopi. Sebelumnya bukan tidak
lazim sebagian besar kopi dari Flores dijual di dalam negeri atau dicampur
dengan kopi lain daripada diekspor sebagai “Kopi Flores”. Pulau ini punya
perpaduan antara gunung berapi aktif dan dorman yang berdampak baik pada tanah.
Salah satu wilayah kunci yang menanam kopi ialah Bajawa. Dalam hal pasca-panen
proses semi-basah masih amat umum di wilayah ini, sekalipun begitu ada juga
kopi yang diproduksi dengan proses purna-basah.
Elevasi:
1.200–1.800 mdpl
Masa
Panen:
Mei–September
Varietas:
Ateng
Typica
Robusta
Bali
Kopi sampai ke Bali agak
terlambat dan mula-mula ditanam di dataran tinggi Kintamani. Produksi kopi Bali
mengalami kemunduran pada 1963 sewaktu Gunung Agung meletus, menewaskan dua
ribu orang, dan menyebabkan kerusakan luas di sisi timur pulau. Pada akhir 1970
dan awal 1980 pemerintah melakukan upaya lebih untuk mempromosikan produksi kopi
sebagian dengan cara membagikan benih arabika. Namun, barangkali orang akan beranggapan
bahwa upaya tersebut hanya menuai hasil terbatas lantaran delapan puluh persen
produksi kopi pulau ini adalah robusta.
Sekalipun
pariwisata menyumbang pemasukan terbesar bagi pulau ini, pertanian merupakan pemberi lapangan kerja terbesar. Pada masa silam Jepang membeli sebagian besar, kalau tidak
semua, hasil panen kopi.
Elevasi:
1.250–1.700 mdpl
Masa
Panen:
Mei–Oktober
Varietas:
Typica dan turunan Typica
Robusta
****
Catatan Penerjemah/Penyunting
Data yang dipaparkan
dalam uraian Hoffmann perlu disikapi dengan kritis—dan barangkali begitu pula
dengan fakta dan terutama opini lainnya. Beberapa yang tampaknya perlu
diragukan:
- “Ekspor kopi dimulai pada 1711—.” Pilihan frasa “ekspor dimulai” terlalu berlebihan. Ukers (1922: 727) menyebut dalam kronologi kopi: “Kopi jawa kali pertama terjual di lelang terbuka di Amsterdam.” Dan pada bagian lain ia merinci: “Kopi jawa yang pertama untuk diperjualbelikan tiba di Amsterdam pada 1711. Kiriman ini seberat 894 pon, terdiri dari kopi yang berasal dari perkebunan di Jakarta dan dari wilayah pedalaman pulau. Pada lelang terbuka yang pertama kopi tersebut laku seharga 23 koma 2/3 stuivers (sekitar 47 sen) per pon Amsterdam.” Vlekke (1961/2008: 217) menginformasikan: “Pada 1711, 50 kg pertama panen kopi diserahkan ke gudang Kompeni oleh Arya Wiratana, Bupati Cianjur di Jawa.”; dan Teggia & Hanuzs (2003: 25)—yang tampaknya merujuk Ukers—menulis: “Pada tahun berikutnya 400 kilogram biji kopi jawa yang pertama dilelang di Amsterdam, mencuatkan rekor harga.”
- “Kebanyakan kopi diproduksi oleh petani kecil dengan kebun hanya berkisar 1–2 hektare—.” Rata-rata luas lahan kopi yang dimiliki/dikerjakan petani Indonesia pada 2013 adalah 0,54 hektare per rumah tangga petani (BPS, 2015: 5).
- “Kopi belum sampai ke Sumatra Utara sebelum 1888—,” dan “—yang lebih belakangan kopi telah diproduksi di sisi selatan pulau di sekitar Mangkuraja.” Hoffmann secara implisit mengatakan bahwa kopi di Pulau Sumatra mulai ditanam dari sisi utara dan kemudian ke sisi selatan. Tidak benar bahwa kopi di Pulau Sumatra mulai ditanam dari sisi utara pulau dan daerah Mangkuraja merupakan wilayah yang baru saja menanam kopi. Kopi di sekitar Mangkuraja atau di Bengkulu sudah mulai ditanam sejak 1802/1803 berdasar kesaksian Campbell (Marsden, 1811: 80, 158).
- “Pulau Sumatra punya tiga wilayah utama penanam kopi:—” (1) Aceh; (2) sekitar Danau Toba [Sumatra Utara], (3) sekitar Mangkuraja [Bengkulu]. Pertama memang perlu diklarifikasi apakah yang dimaksud kopi hanya arabika saja atau termasuk robusta. Bila yang dimaksud semua jenis kopi, Hoffmann salah besar telah melupakan Lampung. Bila yang dimaksud arabika saja, yang terakhir tetap keliru. Penghasil arabika nomor tiga di Sumatra adalah Provinsi Sumatra Barat (BPS, 2016: 56 & 2015: 56).
- “Tak ada tempat yang bernama Mandailing, nama ini merujuk pada kelompok etnik dari pulau Sumatra.” Mandheling yang dirujuk Hoffmann merupakan ejaan 'ala Eropa' [Ensiklopedia Britannica mencatatnya sebagai Mandailing] untuk Mandailing. Dan tentu saja di Sumatra ada tempat, kini kabupaten, yang bernama Mandailing Natal.
- “Sebagian besar kopi ditanam di sisi timur Jawa, di sekitar gunung berapi Ijen, tetapi ada juga produsen kopi di sisi barat pulau.” Jawa Tengah menghasilkan kopi lebih banyak [20.313 ton] daripada gabungan antara Banten dan Jawa Barat atau sisi barat [19.262 ton] Pulau Jawa pada 2013 (BPS, 2015: 5).
Hoffmann, James.
2014. “Indonesia”, diterjemahkan oleh Ining Isaiyas dari The World Atlas of Coffee: From Beans to Brewing—Coffees Explored,
Explained and Enjoyed. London: Mitchell Beazley.
0 komentar :
Posting Komentar